24.3.11

Menyerah Pada Insting

Nafasku tersengal, badanku memerintahkan untuk berhenti saat itu juga, tapi tak bisa. Aku sedang dalam perburuan,jika  aku berhenti sekarang, aku akan kehilangannya lagi. Tidak akan kuijinkan. Aku pacu langkah kakiku lebih cepat lagi, paru-paruku terasa terbakar, aku mencoba mengabaikannya sampai akhirnya peluru itu yang menghentikanku.

Aku ambruk seketika, sial! Darah mengucur deras dari tempat peluru itu bersarang. Rasa sakitnya luar biasa, aku hanya bisa mengerang sekencang mungkin. Aku berusaha melihat siapa yang melakukan ini, ah ternyata ayahnya! Pengintaianku beberapa menit yang lalu nampaknya sia-sia, ternyata ayahnya memang selalu ada di sekitar untuk mengawasi
.
Ayahnya berlari mendekatiku, dengan posisi senapan siap untuk menembakku lagi. Aku memang belum mati, aku bahkan cukup kuat untuk menerkamnya saat ini juga. Tapi kuurungkan niatku. Aku terlalu lelah, buruanku benar-benar menguras tenagaku. Aku tak mengira dia bisa berlari secepat itu.

Ayah, jangan biarkan dia melakukan itu padaku lagi! Dia hampir membunuhku!” Anak itu  menunjukkan sayatan-sayatan yang masih segar berbau darah, hasil pergulatanku dengannya beberapa menit yang lalu.

Aku hanya menyeringai lebar mendengar pernyataan itu. Ya, aku hampir membunuhmu, kalau saja ayahmu tak datang.

Ayahnya tak bergeming, dia terlalu kaget meihat apa yang bisa kulakukan terhadap anaknya. Sebenarnya aku hanya mengikuti insting, bau tubuhnya lebih segar daripada makanan yang dibawanya untukku pagi ini. Beberapa lelaki berbadan besar menghampiriku, mengikat semua bagian tubuh yang sekiranya masih bisa kugerakkan. Mereka menyeretku menjauh, aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi aku tak menyesal telah mengejar anak itu.

Mataku terbuka, aku mencoba berdiri. Kupandangi sekelilingku, hanya ada padang rumput tandus dan beberapa kijang berlarian di ujung hulu sungai tak jauh dari tempatku berada.
Hal yang paling kutunggu sekaligus yang paling kutakuti akhirnya berada di depan mata. Ya, aku dibuang olehnya, karena apa yang telah kulakukan terhadap anaknya. Tak akan ada lagi makanan yang langsung tersedia di hadapan mata, aku harus mencarinya sendiri mulai sekarang.
Paling tidak ini lebih baik daripada harus meringkuk di balik teralis besi yang mereka sediakan. Aku bisa berlari sejauh apapun. Karena aku diciptakan untuk ini semua, aku diciptakan untuk alam ini.
  
                                                Nurul Kartikasari
10.37 PM 

Tidak ada komentar: