31.10.10

Kedua Kalinya

Tulisan terakhir sebelum tugas akhir. enjoy. :)

Selalu ada kali pertama untuk setiap hal. Kalau itu suatu kesenangan, mungkin kamu berharap akan mengalaminya lagi. Tapi jika menghadapi kematian, aku berjanji kamu tidak mau mengalaminya dua kali.  

B IP. Bunyi itu yang membangunkanku pagi ini. 1 pesan singkat masuk ke telepon genggamku. Dengan mata setengah terbuka aku membaca isinya. 

“Ra, Batak nungguin setoran lo hari ini. –Tomi”

Aku menghela nafas, membenamkan wajah dalam-dalam ke tumpukan bantal.

Ah, aku selalu benci untuk memulai ini semua. Semua deadline yang sudah ditentukan dengan kualitas yang mereka inginkan. Tidak, aku tidak benci dengan pekerjaanku, aku menyukainya. Yang membuat ini semua tampak semakin sulit, aku seperti kehilangan sentuhan ajaib.  Sentuhan yang bisa membuat hasil pekerjaanku terlihat sangat memuaskan.

Aku menulis beberapa kalimat, menghapusnya lagi. Menulisakannya lagi dengan cara yang berbeda dan menghapusnya lagi. Apapun yang terlihat di layar mini ini terasa sangat salah. Aku mencoba mengenyahkan perasaan itu dan melanjutkannya lagi.

 “Ra, jujur, Saya rasa Kamu kehilangan sentuhan dalam tulisanmu. Saya mau tulisan Kamu yang dulu. Bukan yang seperti ini!” Pohan membanting lembar tulisanku di mejanya.

“Maksud bapak? Saya menulis seperti biasanya,tulisan seperti itu yang Saya pertahankan.”

“Saya mau tulisan Kamu yang dulu. Koran ini butuh tulisan seperti itu. Kolommu-lah yang buat koran kita laku di pasaran!”

“Mungkin Kamu perlu diingatkan tulisan macam apa yang Saya minta,”

Sesaat aku terdiam. Tidak mudah untuk melupakan tulisan macam apa yang dimaksud Pohan. Tulisan yang melesatkan karirku sebagai kolumnis sekaligus membuatku menjadi manusia yang paling menyedihkan.

                                                                      ####

 Aku membunuh ibuku sendiri. Berulang kali rekaman kecelakaan itu berputar di otakku. Kalau bukan kecelakaan itu yang akan mengakhiri hidupku mungkin rasa bersalah ini akan membunuhku secara perlahan. 

Aku tidak pernah merasa semenderita ini dalam hidup. Paru-paruku terasa begitu sesak setiap aku mencoba bernafas, mataku sembab,air mata tak hentinya mengalir. Setiap aku membayangkan wajah ibuku, justru memparah semuanya. Ulu hatiku sekan tertusuk benda tajam yang sudah terbenam disana sekian lama dan aku tidak berniat untuk mengeluarkannya.  Jika sudah lelah menangis, aku hanya duduk terdiam. Diam yang sangat kosong.

Tapi justru rasa bersalah itu yang bisa menghidupiku hingga saat ini. Sentuhan ajaib yang kumaksudkan diatas adalah ini, rasa sedihku. Rasa sedih yang mendalam yang mebuatku hampir gila, sudah gila mungkin.

Pohan dan pembaca setia kolomku menyukai rasa bersalah itu, menyukai rasa sedih itu. Ya, aku memang diberi kolom khusus untuk memberitakan kematian orang. Kematian yang tadinya biasa saja, dapat kutulis dengan cara yang paling pilu dan mengenaskan yang dapat dibayangkan setiap orang.

Sampai akhirnya 2 tahun telah berlalu sejak peristiwa naas itu. Aku sudah mulai bisa mengikhlaskan perginya ibu. Perlahan tapi pasti rasa bersalah itu juga hilang seiring berjalannya waktu.  Tapi terkadang aku membutuhkannya. Apa aku dapat melewati semua itu sekali lagi? Kematian siapa lagi yang dapat menandingi setidaknya menyeimbangkan rasa sedih itu?

Selalu ada kali pertama untuk semua hal. Kalau itu suatu kesenangan, mungkin kamu berharap akan mengalaminya lagi. Tapi jika menghadapi kematian, aku berjanji kamu tidak mau melewatinya dua kali.  Tapi mungkin tidak denganku.

                                                                 ######

1 komentar:

Mega Kartikawati mengatakan...

BAGUSAN YANG DULU!ini nggak seru berat kayak tas sekolahku