29.12.09

my postponed dream :)

If you know me, you must know the characters that i built was so close to me :) My dad is a pilot in thailand. I do little research asked my dad how become new pilot.hee. And Soeryaatmadja, i borrow it from my best friend's family names, tasya soeryaatmadja. I hope she's don't mind :) I always want to have cool family names like she have one.

Di bawah ini baru sepotong dari semua ide yang lewat dan mampir di otak. Sangat amat berencana buat lanjutin sampai selesai, ntah itu nanti jadinya hanya berupa cerpen apa novel. Belum ada ide judul yang bagus, if i have one i will write it down. Drop your opinion please. i will appreciate it :)

Notes : it is NOT EASY to be writer, especially good one. i will do it because i love it and like the title say it is my postponed dream :)

#################################################################################
“Ta, bangun Ta!”Sisil mengguncang-guncang tubuh salah satu rekan kerjanya. Ini sudah ke-5 kalinya Sisil berusaha membangunkan Genta. Kalau usaha terakhirnya ini tidak berhasil, Sisil berencana mau mengguyur Genta dengan segelas air dingin.
“hmm,”Genta hanya bergumam dan menarik selimutnya kembali.

“Ta,kita dah mau landing. Astaga,udah ga tidur berapa lama si lo? Bangun nggak? Gw siram air dingin ni!”Gertak Sisil sambil menarik selimut Genta.

“Hmm, iya Sil. Bangun ni gw. Thank you for waking me up,”Genta tersenyum kecil dengan mata masih terpejam.

Your welcome sir, now I know why your friend always leaving you for breakfast. You sleep like a rock. God!

“Hahaha! Ya, lo orang ke seribu yang bilang begitu,” Genta akhirnya berhasil membuka matanya dan tersenyum lagi kepada Sisil.

Sisil balas tersenyum kepada Genta. Kalau dia tidak ingat Genta adalah salah satu teman kerjanya,dia sanggup melakukan suatu kejahatan membangunkan penumpang yang pernah dipelajarinya dari sesama pramugari. Memang pertama hanya gurauan antar pramugari saja,tapi diam-diam Sisil ingin sekali-kali mempraktikannya.

Ok capt , now you really have to get up, fasten your seat belt and sit properly. We will landing in 10 minutes,” Sisil langsung mempraktikan gesture pramugari yang dipelajarinya melihat penumpang disekitarnya melihat Sisil dengan muka terheran-heran.

“Oh iya dan ini handuk panas yang lo minta tadi sebelum lo tidur,”Sisil menaruhnya di pangkuan Genta dan meninggalkannya.

Thanks Sil! You’re the best!”

Hm,ayo bangun Genta! Genta membatin berusaha membangunkan dirinya sendiri. Dia mengambil handuk panas di pangkuannya dan menempelkannya ke wajah. Cara ini selalu berhasil membangunkan mata Genta kalau ia sangat lelah seperti beberapa hari belakangan ini.

Setelah melakukan ritual kecilnya itu Genta duduk tegak, mengencangkan sabuk pengamannya dan melihat ke jendela, Hello Jakarta here I come! Genta membatin lagi. Entah berapa lama ia sudah meninggalkan Jakarta, 3 tahun mungkin?

Ya, seperti biasa Genta selalu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi dengan jadwal penerbangan yang selalu padat. Jika ia mendapat libur 2 minggu, Genta lebih memilih menghabiskannya di Australia, tidur dan menjelajah penjuru Australia yang baru dia kenal beberapa tahun belakangan ini.

Rachmawati Soeryaatmadja, ibu Genta, sudah kehabisan akal menyuruh putra sulungnya untuk kembali ke Jakarta. Tidak pernah ada yang tau apa yang ada di pikiran Genta. Apabila sudah berhubungan dengan pekerjaan tidak ada yang dapat menganggu lelaki yang satu ini.

“Genta ga mau menngecewakan Om Agus, Bu.” Alasan yang selalu Genta utarakan pada ibunya setiap kali ibunya membujuk Genta pulang ke Jakarta. Ya, Agus Soeryaatmadja adik dari ibu Genta mempertaruhkan jabatannya sebagai pilot senior untuk memasukkan Genta yang belum punya jam terbang cukup banyak untuk bekerja di maskapai penerbangan asing. Om Agus selalu tau kalau keponakannya yang satu ini tidak akan pernah mengecewakannya dan Genta sangat menjaga hal itu.

Genta Soeryaatmadja, 27 tahun, captain termuda salah satu maskapai penerbangan asing Australia. Dengan proporsi badan 180 cm/79 kg Genta tidak mengalam kesulitan untuk masuk dan beradaptasi di lingkungan barunya di aussie. Karakter wajah Genta yang memang sudah mewarisi garis keturunan Netherland milik kakeknya membuat pria ini sempat dikira orang bule asli.

Sentuhan Indonesia terlihat pada kulit Genta yang sawo matang,dengan mata dan senyum yang khas. Mata dan senyuman yang ia dapatkan dari garis keturunan ibunya. Mata coklat teduh yang menenangkan dan senyum ramah khas orang Indonesia.

“Bau hujan di sini memang nggak pernah berubah,” Genta menarik napas panjang. Memanjakan hidungnya dengan bau tanah dan aspal yang terguyur hujan. Bau favorit alami Genta.

Pelangi membelah langit Jakarta pagi itu, seakan-akan ikut tersenyum senang menyambut kepulangan Genta. Kepulangannya kali ini tidak ada yang mengetahui, baik keluarga maupun teman dekatnya. Genta sengaja ingin memberikan kejutan buat mereka semua.

“Selamat pagi Mas, ke mana kita?” Tanya seorang supir taxi dari balik kaca spionnya.

“Kelapa Gading ya Pak.” Taxi pun melaju menuju utara Jakarta.

Kepulangan Genta kali ini merupakan kepulangannya yang pertama setelah 3 tahun,dia rindu sekali dengan keluarganya. Genta seorang yang sangat mencintai keluarganya, family always comes first. Walaupun Genta sangat sibuk bekerja tapi ia selalu menyempatkan menelpon ibunya di Jakarta, sesering yang Genta bisa. Genta tidak pernah merasa jauh dari keluarganya. Dengan teknologi yang sudah sangat maju sekarang ini banyak sekali media untuk melepas kerinduan Genta dengan keluarganya. Kinanti maupun Ale, kedua adik Genta, sering sekali mengirimkan foto-foto keluarga, baik yang hanya sekedar pose gila dengan cerita-cerita konyolnya.

################

“Ma, Kinan berangkat ya.”Kinanti menyalami kedua orang tuanya.

“Kamu nggak sarapan dulu? Nanti sakit lho.”Mama langsung berkomentar melihat anak perempuannya ngeloyor pergi begitu saja tanpa menyentuh sarapan yang sudah disediakan di meja

“Iya ini bagaimana si bu dokter?nanti kalau sakit, pasiennya siapa yang ngerawat?” Ayah Kinanti menimpali di balik koran paginya.

“Iya iya, ni Kinan sarapan dulu,”Kinan berbalik lagi k arah meja makan

“Kamu nggak bareng Shinta berangkatnya?” Ayah menurunkan koran dan menyeruput kopi paginya.

“Nggak yah, Shinta praktek siang hari ini. Aku bawa mobil juga yah hari ini.”

“Lho Mba Kinan bawa mobil? Asik, ikut sampe halte busway dong Mba.” Ale yang baru keluar dari kamarnya langsung menimpali obrolan kakak dan ayahnya.

“Motor kamu kenapa memang? Tumben mau naik busway. Paling anti kamu biasanya sama angkutan umum semenjak dibeliin motor sama ayah,” Kinanti menyerobot gelas susu yang baru mau diambil Ale sambil tersenyum jahil.

“Motornya mau diservice kilometer kak, nanti siang ada orang bengkel yang mau ngambil ke rumah. Sekalian nanti sore Ale mau pergi sama temen Ale.”Alih-alih berdebat dengan Kinanti yang sudah mengambil susunya, Ale mengambil apel yang ada di meja makan.

“Oh, yaudah ayo bareng kakak aja,” Kinanti menghabiskan susu itu dalam satu kali tarikan napas

“Hmm,enak susunya! Ayo ah berangkat le, ntar kena macet kita,” Kinanti sudah bersiap mengambil kunci mobil di meja makan.

“HAHAHAHAHAHA!” Ale tertawa sekencang-kencangnya

“Lho, kenapa kamu ketawa?”Kinanti heran melihat adiknya tertawa terbahak.

“Itu susu yang Mba Kinan minum kan, susu protein punya Ale yang buat ngegedein otot.hahaha!”Ale tertawa tergelak lagi.

“AH! ALEE!”Kinanti langsung berlari ke dapur dan meminum air putih sebanyak-banyaknya.

“Awas ya kamu kalo Mba diare seharian!” Kinanti berteriak lalu menghabiskan gelas air putihnya yang ke-5. Kinanti ingat waktu ia dengan tidak sengaja juga menghabiskan 1 gelas susu milik Genta yang sama dengan susu yang dikonsumsi Ale sekarang. Kinanti diare seharian dan mulai saat itu ia menganggap kalau susu kaya protein itu minuman haram.

“hahaha! Lagian main samber aja. Tanya-tanya dulu donk. Mba Kinan kan klo pagi nggak pernah minum susu. Ya klo pagi ada susu d meja berarti punya Ale Mba” Ale masih tertawa tergelak.

“Iya iya.” Kinanti duduk d kursi meja makan sebentar memastikan kalau-kalau ia ingin ke toilet.

“Lho, kok malah duduk. Katanya mau berangkat, nanti kena macet lho!” Ale tersenyum jahil kepada kakaknya

“Berisik! Nih kamu yang nyetir sampai halte busway.” Kinanti melempar kunci mobil kepada Ale. Ale menangkapnya dengan sigap dan kembali tertawa.

################################

“Berhenti di depan sana ya Pak,” Genta menunjuk rumah sederhana d ujung jalan.

Setelah membayar taxi dan menurunkan koper, Genta memandangi rumahnya. Tidak banyak yang berubah pikir Genta. Rumah mungil minimalis yang dikelilingi tembok yang tidak begitu tinggi. Dengan tembok yang masih ditumbuhi oleh tanaman merambat yang terawat.

Rumah minimalis klasik, itulah tema rumah Genta yang selalu digumamkan oleh ibunya. Warna hitam dan putih mendominasi tembok kediaman ini. Halaman rumahnya dimonopoli oleh berbagai macam tanaman yang terawat rapih. Halaman yang mengelilingi rumah yang luas tersebut ditangani sendiri oleh ibu Genta. Dari pemupukan hingga penyiramannya. Beliau dapat menghabiskan waktu seharian mengurusi tanaman-tanamannya.

Genta membuka pintu pagar dan langsung mengenali motor milik Ale. Motor hadiah dari ayah untuk Ale atas keberhasilannya menembus salah satu PTN terkenal di Jakarta. Genta ingat e-mail yang dikirim Ale kepada Genta yang berisi foto-foto dengan motornya itu,lebih dari 100 foto dengan wajah sumringah Ale tergambar jelas.

“Assalmualaikum!” Genta membuka pintu rumah dan mendapati rumahnya kosong.

“Hmm, ibu pasti lagi ke pasar.” Genta bergumam sendiri. Setelah menaruh kopernya di pojok ruang keluarga, Genta beranjak ke dapur dan mendapati Mbok Par sedang sibuk menggoreng sesuatu.

Mbok Par, wanita paruh baya yang sudah dianggap keluarga oleh Genta. Mbok Par sudah bekerja pada keluarga Soeryaatmadja jauh sebelum Genta lahir. Mbok Par diboyong oleh nenek Genta langsung dari kampungnya di Jember. Sewaktu ibu Genta mengandung, mbok par menawarkan diri membantunya dan semenjak itulah mbok Par tinggal bersama di rumah.

Mbok Par sebenarnya memiliki keluarga di kampungnya di Jember. Suaminya meninggal sewaktu Mbok Par mengandung anak pertamanya. Dan kini anaknya pun sudah berkeluarga. Dengan alasan tidak mau menjadi beban hidup anaknya, Mbok Par memilih tetap tinggal dan bekerja pada keluarga ini.

“Mbok Par!Serius banget masaknya,” Genta bersandar di pintu dapur berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam kantung celananya. Cepolan rambut tinggi-tinggi dan baju daster longgar berbahan katun yang nyaman masih menjadi seragam wajib Mbok Par sampai saat ini.

Mbok Par berbalik dan kaget melihat Genta berdiri di pintu dapur. “Ya Allah!Mas Genta!Mbok Par kangen!” Setengah berlari dan berteriak Mbok Par memeluk Genta. Agak menubruk Genta sebenarnya.

“Hahaha!Iya,Genta juga kangen sama Mbok Par,”Genta yang sempat terhuyung, kaget akan reaksi yang ia dapatkan, langsung memeluk Mbok Par sambil tertawa geli. Mbok Par tersipu malu dan melepaskan pelukan Genta.

“Ibu mana Mbok?” Genta berjalan mengamati isi penggorengan, masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

“Ibu lagi ke pasar Mas,” Mbok Par masih tersipu, kaget dengan reaksinya sendiri yang langsung memeluk Genta.

“Oh,yang lainnya juga udah berangkat ya?”

“Iya Mas. Tadi pagi-pagi Mbak Kinan sama Mas Ale berangkat. Bapak tadi berangkat bareng Ibu, sekalian nganter Ibu ke pasar katanya Mas.”

Genta membuka lemari es, melihat-lihat isinya sekilas lalu menutupnya kembali. “ Mas Genta mau Mbok buatin apa?” Mbok Par bertanya melihat raut wajah Genta yang nampaknya belum sarapan.

“Hmm, ngga usah mbok. Mbok Par lanjutin aja masaknya, Genta mau keluar sebentar.” Genta tersenyum simpul kepada Mbok Par.

“Lho,baru dateng ko udah pergi lagi Mas?”

“Nggak jauh ko Mbok. Mau lihat usahanya Soni, katanya Soni buka kedai kopi disekitar sini ya?” Genta mengambil apel yang tergeletak di meja makan tak jauh dari kulkas.

“Oh iya, Mas Soni buka kedai kopi di belakang komplek. Laku mas dagangannya! Banyak yang bilang kopi Mas Soni enak” Mbok Par semangat menceritakan teman Genta yang satu ini.

“Wah,alhamdulillah. Genta mau nengok Soni dulu ya mbok. Genta nggak lama kok,pulang sebelum Ibu sampai rumah. Oia, Genta bawa motornya Ale ya mbok,takut Mbok Par nyariin nanti.”

Genta menghampiri dan memeluk Mbok Par sekali lagi, “Genta baru nyadar, Genta kangen banget sama Mbok Par!”

Genta meninggalkan Mbok Par yang masih berdiri mematung dengan pipi yang merona merah.

Genta mengendarai motor Ale menuju kedai kopi milik Soni. Soni, sahabat kental Genta sejak SMA memang sangat gila dengan kopi. Bukan gila dalam mengkonsumsinya, gila dalam menciptakan minuman kreasi dari kopi. Genta akui, semua kreasi Sony memang patut diacungi jempol. Rasanya tidak beda jauh dengan coffee shop terkemuka seperti Starbucks.

Genta juga yang mendorong Soni untuk membuka usahanya sendiri dan akhirnya terealisasikan 1 tahun setelah Genta meninggalkan Jakarta.

Kedai kopi milik Sony didominasi warna merah marun dan hitam, warna favorit Soni. Interiornya sangat menarik dan cozy. Suasana hangat dan nyaman yang dicari oleh semua penikmat kopi bisa didapatkan disini.

Jam baru saja menunjukkan pukul 09.02 pagi, tapi kedai ini sudah cukup ramai. Dihitung dengan orang yang baru saja keluar tadi, Genta nampaknya pelanggan kelima hari ini. Seorang bapak paruh baya sedang membaca koran di meja tidak jauh dari pintu masuk. Dari pakainnya nampaknya dia menunggu rekan kerjanya. Disalah satu pojokan kedai kopi ada dua orang lelaki, sibuk dengan kertas-kertas dan laptop di depannya, mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi asumsi Genta. Dilihat dari banyaknya gelas yang ada di dekatnya, kedua lelaki itu sudah dari berjam-jam yang lalu berada disini.

Genta mendapati Soni sedang berbincang hangat dengan seorang wanita. Soni mengantarkannya ke pintu, nampaknya wanita ini teman dekat Soni. Mereka berbincang akrab sekali. Sesekali wanita ini memukul pundak Soni.

Setelah membukakan pintu, wanita tersebut memberi pelukan hangat kepada Soni dan tersenyum lebar.

Masih dengan senyum yang sama, wanita itu melewati Genta dan mengucapkan selamat pagi. Genta membalas senyumnya sambil membatin, waw, she’s so polite.

Soni yang masih berdiri di depan pintu mengamati Genta yang masih duduk di motornya. Mimik mukanya berkerut seperti sedang mengamati sesuatu yang sudah sangat familiar di matanya. Genta tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. Alih-alih memasuki kedai, Soni berlari ke arah Genta sambil tertawa lepas.

Genta turun dari motornya menyambut pelukan hangat dari sahabatnya yang satu ini “HAHAHAHAHA!Genta! Gila lo, pulang nggak ngabarin!” Soni memeluk Genta brotherly.

“Iya Son, sengaja. Surprise HUH?!”

“Iyalah, it really is big surprise ,” Soni memukul pundak Genta. “You didn’t change much! Look, still with your best outfits polo shirt and jeans!”

“Hahaha yeah! So do you!” Genta tertawa lepas mengingat apa yang diperhatikan Soni pertama kalinya adalah apa yang ia kenakan.

Tidak seperti Genta, Soni adalah tipe lelaki metroseksual yang selalu memperhatikan penampilannya. Genta ingat perkataan temannya yang satu ini, “Don’t judge the book by its cover. But, hell yeah! nowdays a lota people do that things. Apalagi di ibukota seperti Jakarta ini.”

“Ayolah masuk ta!its your first time! I want to know your opinion about my coffee shop,”

“Sorry Son, gw ga bisa lama. Belum ketemu nyokap, tadi rumah kosong. Gw kangen banget sama lo,makanya gw langsung ke sini.” Genta bersender pada motornya merileks-ka posisi berdirinya

“Oh, yaudah, tapi ntar sore mapir lo ke sini. Lo bisa ketemu sama Amar, dia bakal keget banget pasti ngeliat lo!” Soni antusias sekali mengingat bisa kumpul dan kongkow-kongkow lagi bareng sahabat SMA-nya.

“Amar di Jakarta? Udah pindah lagi dia?” Genta juga tak kalah exciting-nya mendengar kabar ini

“Iya, dia baru dimutasi lagi ke Jakarta.”

“Good! Gw pasti dateng sore ini.” Genta memaikan kunci motor di tangannya lalu menyalakan mesin motornya “Gw cabut ya bro!”

“Bentar Ta, gw ke dalem sebentar jangan balik dulu lo,” Soni berlari memasuki kedai kopinya. Tidak selang beberapa menit Soni keluar lagi dengan kantung kertas coklat di tangannya.

“Buat nyokap lo, chocolate muffin. She adore it. Bluberry muffin for you. And cheesee muffin for your beautiful sister” Soni menyodorkan bungkusan kertas coklat itu kepada Genta.

“Hahaha!Masih gigih sama Kinanti?” Genta menerimanya dan menaruhnya di bagasi kecil di bawah jok.

“Yap,masih lah! Kinanti, always Kinanti, “ mimik Soni menunjukkan ia belum patah semangat untuk mendapatkan hati adik perempuan Genta satu-satunya. “Lo sama Kinanti itu sama ta, hard to fall in love. Tapi kalau udah punya seseorang, you will keep it and maybe jail it biar mereka ga kemana-mana.” Soni senyum jail mengingat karakter Soeryaatmanya bersaudara ini.

“Hahaha! Yap more or less.Tenang Son lo dah dapet restu dari gw, terusin aja,” Genta menaiki motornya dan mengenakan helm.

“Cabut ya Son! Thanks muffinnya!” Genta menggeber motornya dan meninggalkan Soni.



###################################################


“Pasiennya disuruh masuk aja Tri. Aku mau rapih-rapih sebentar.” Shinta mengambil jas klinik dari dalam tasnya di meja menuju wastafel di belakang dental unitnya.

“Bapak Genta!” Tri mempersilahkan masuk pasien pertamanya “Silahkan duduk,ditunggu sebentar ya pak,”

Genta dipersilahkan duduk di kursi berwarna hijau yang berhadapan dengan meja konsultasi dokter. Wangi kiwi?Menarik. Genta membatin dalam hati. Genta terheran sendiri mengingat ruangan dokter gigi selalu identik dengan bau yang diasumsikan Genta sebagai bau gigi yang habis dibor.

Shinta mengenakan jas kliniknya dan menguncir rambut panjangnya ke belakang membentuk buntut kuda, siap bertemu pasien pertamanya hari ini.

Shinta membalikkan badan, manghampiri dan menyapanya dengan ramah “Siang!” senyum andalan Shinta langsung merekah sempurna. Shinta mendapati pasiennya memandangnya tajam dan setengah tertegun.

Shinta agak heran mendapat respon seperti itu, tapi iya tetap tersenyum. Tri menyerahkan dental record pasien tersebut kepada Shinta. Shinta membukanya sembari duduk di kursi yang berhadapan dengan pasiennya itu.

“Genta Soeryaatmadja,” pikiran Shinta langsung tertuju pada Kinanti, Soeryaatmadaja yang cukup dekat dengannya. Apa lelaki ini ada hubungan darah dengan Kinanti? Ah, keluarga Soeryaatmadja yang Shinta kenal mungkin bukan satu-satunya keluarga yang memiliki nama belakang seperti itu.

Kinanti menatap pasiennya, wajahnya nampak sangat familiar. Rahang tegas yang membingkai wajahnya mengingatkan Shinta pada seseorang. Artis hollywood? Karakter wajahnya sangat mirip dengan aktor favorit Shinta, Jude Law.

Shinta akui seseorang yang bernama Genta ini, sangat tampan. Mata coklat yang menyenangakan dan siluet wajah yang indah. Hanya dengan balutan kaus hitam dan celana jeans Shinta juga dapat menebak, lelaki ini memiliki tubuh yang proporsional. Hmm mungkin pribadi yang menyenangkan juga.

“Hmm,lets see.“ Shinta kembali menekuni dental record lelaki ini. “Wow, you’re a captain. Great! Its explain those white tooth!” Shinta kembali tersenyum ramah.

“Nampaknya hanya check up rutin capt?” Shinta menutup dental record dan bertanya kepada pasiennya.

“Yap check up rutin saja dok.” Pasien ini membalas senyum Shinta. Waw He has great smile too.batin Shinta. Genta ini Jude Law versi Indonesia. Bukan, versi Shinta lebih tepatnya. Ok stop it Shin, am i really this easy to like boys? Shinta mengenyahkan bayangan pria ini dalam pikirannya.

Genta dipersilahkan duduk di dental unit sementara dokter giginya bersiap di belakanganya. Easy ta! rileks. Genta bergumam sendiri berusaha mengendurkan syaraf-syaraf tubuhnya setelah mendapat kejutan barusan.

Siapa namanya? Genta berusa mengingat nama yang tertulius di depan pintu tadi. drg. Shinta Anggia Bratakusuma? Wanita yang tersenyum ramah padanya pagi ini di kedai kopi milik Soni ternyata seorang dokter gigi. Yang membuat Genta agak terkejut sebenarnya adalah betapa menariknya wanita ini.

Genta tidak begitu memperhatikan sosok wanita ini tadi pagi. Tetapi sekarang? Lelaki manapun pasti akan menoleh melihatnya. Cantik khas Indonesia, dengan mata besar yang berbinar, hidung yang mancung dan senyum yang selalu melekat di wajahnya. Makeup yang dikenakannya sangat tipis tetapi berhasil menonjolkan segala kelebihan yang ia punya.

Shinta mengenakan sarung tangan dan masker wajah, standar hygien yang selalu ia terapkan sebelum memeriksa pasien. Shinta menurunkan posisi pasien Jude Law’s look a like ini agar berada di bawah jangkauan ruang kerja tangannya. Konsentrasi Shinta! He just like your other pasien. Shinta menarik napas panjang. Waw. He really do smells good too! Georgia Armani? Pria ini benar-benar mempersulit Shinta berkonsentrasi.

Dokter gigi itu mengambil alat yang seperti cermin kecil bertangkai panjang dan menginstruksikan Genta untuk membuka mulutnya. Hazel. Dengan jarak yang cukup dekat ini Genta dapat melihat dengan jelas warna mata dokternya. Hazel, warna yang sangat cocok dengan kepribadiannya yang hangat pikir Genta. Hmm, wangi apa ini? Genta berfikir sekilas mencerna wangi yang baru saja ia baui. Agak tercampur dengan wangi kiwi yang mengisi ruangan. Ah, Alysha and ashlee. Bukan parfum, dokter ini memakai hand body lotionnya, wanginya bisa tercium lebih lekat. Genta sangat kenal wangi ini mengingat ibunya penggemar berat lotion yang satu itu.

“Ada yang aneh dengan saya capt?” Shinta tiba-tiba bertanya yang walaupun tidak terelihat ia tersenyum dibalik masker wajahnya,

Genta kaget mendapati dirinya begitu lekat melihat Shinta. Dia langsung mengedarkan pandangannya ke arah lain mencoba mencari spot baru untuk berkonsentrasi. Ah, what did you do Ta! Dia pasti ngerasa nggak nyaman gw liatin kaya orang freak gitu. Stupid!

Setelah dirasa cukup, Shinta melepaskan masker wajah dan sarung tangannya. Dan ia mengembalikan posisi dental unit ke dalam posisi semula dalam satu tekan tombol. “Saya rasa nggak perlu scalling capt. Giginya bersih.terawat sekali dengan baik. Kalau dilakukan tindakan ini takutnya malah melemahkan struktur giginya sendiri.” Shinta menjelaskan sembari bangun dari kursinya dan berjalan ke wastafel.

Shinta langsung berkaca. Hmm, nggak ada yang aneh ko sama muka gw, kenapa dia ngeliatnya gitu banget si tadi? Shinta merasa tidak nyaman bila mendapati dirinya ditatap seperti yang dilakukan pria ini tadi, nampaknya ada sesuatu yang salah dengan dirinya.

Tok tok tok!

Seseorang wanita masuk begitu saja ke dalam ruangan. Jas putih yang ia kenakan menandakan wanita ini teman sejawat Shinta.

“Bang Genta!” wanita tadi berteriak histeris dan berlari memeluk lelaki tampan yang sangat kaget melihat reaksi yang tidak sepatutnya dari seorang dokter gigi.

Shinta juga kaget melihat reaksi Kinanti, temannya yang tanpa ragu memeluk Genta. Wah, jangan-jangan lelaki ini alasan mengapa Kinanti tidak pernah mengatakan ya kalau Soni mengajaknya ke tahap yang lebih serius. Shinta agak kecewa mengamati kejadian di depannnya.

Jude Law-nya membalas pelukan Kinanti dengan sangat erat. Seperti mereka sudah sangat mengenal satu sama lain dan ada hubungan yang lebih dekat dari yang Shinta dapat bayangkan.

“Ah gila ya! Balik ga bilang-bilang!What kind of brother are you?” Kinanti memukul Genta seperti layaknya anak kecil yang habis dijahili kakaknya.

Ah, brother! Genta itu kakaknya Kinanti yang sering ia ceritakan pada Shinta. Bagaimana ia bisa sampai lupa sih? Setiap Kinanti cerita soal kakaknya yang misterius itu Shinta tau Kinanti ada niatan untuk menjodohkan mereka. Shinta hanya tersenyum mengingat bagaimana lucunya kejadian itu.

“Emang sengaja mau bikin surprise nona,” Genta mengacak ngacak rambut Kinanti dan memeluknya lagi. “i miss you so bad!” Kinanti sampai terisak sewaktu mengatakan ini.

“hahaha!jangan pake nangis ah. Ga enak itu sama dokternya,” Genta melepas pelukannya dan berbalik menghadap Shinta yang sejak tadi mengamati mereka berdua, bahkan Tri pun sampai teralih perhatiannya.

“Nggak papa kok, Mba Shinta ini orang paling baik sejagad raya! Abang ga akan pernah liat dia marah sama siapapun,” Kinanti mengambil tisu di meja, menghapus air matanya, dan menghampiri Shinta.

Tersenyum mendapati Kinanti memberikan penilaian dirinya kepada Genta, Shinta hanya mengangguk kecil, “Yap, nggak papa kok. Kinanti ini emang melankolis banget ya, liat kakaknya pulang kok malah nangis?” Shinta berbasa basi berusaha bersikap biasa aja walaupun Genta melihatnya dengan sangat intens.

“Kinanti memang seperti itu, lucu inget gimana cengengnya dia sekaligus sifat premannya yang kadang-kadang lebih serem dari preman aslinya,” Genta meledek Kinanti berusaha menetralkan suasana juga.

“Eh, jangan mulai ya Bang. Mau aku bilangin ni ke Mba Shinta sebenernya Bang Genta ini melankolis juga lho!Dulu waktu boneka anjingnya Bang Genta diambil sama mama gara-gara menurut mama Abang ini udah ketuaan main sama boneka. Bang Genta ga berhenti nangis seharian!”Genta lanngsung melotot ke Kinanti yang hanya bisa ketawa cekikikan.

Merasa dipermalukan di depan wanita yang baru dikenalnya terutama lagi Shinta, wanita yang amat sangat menarik perhatian Genta. Genta hanya bisa tersipu malu.

Shinta terkejut mendapati semburan emosi Genta yang sangat nyata. Seingatnya menurut cerita Kinanti, Genta ini lelaki dingin yang pelit buat memperlihatkan emosinya.

“Udah makan Ki?Lagi pengen nasi uduk ni, kebon kacang yuk!” Genta yang memang penggemar berat nasi uduk Kebon Kacang, agenda makan siang pertamanya di Jakarta pasti dilakukannya di sana. “Dokter juga ikut aja, kita makan bareng,“ Genta yang masih canggung tidak sengaja memanggil Shinta dengan sebutan dokter.

“Hmm, tempting. Suka banget sama nasi uduk kebon kacang, dari kemarin juga lagi ngidam itu. Sorry. baru mulai kerja ni, ga mungkin aku tinggalin.”Shinta tersenyum sambil mengangkat tumpukan dental record milik pasiennya di meja.

“Oh ya panggil Shinta aja, dokter formal banget kayaknya capt,” Shinta kaget sendiri dengan apa yang diucapnya. Ia biasanya selalu malu memperkenalkan diri di depan lelaki. Not for her Jude Law maybe. Pipi Shinta bersemu merah.

“Hmm, sayang banget. Ok maybe next time! Oia please Genta jangan capt. Biar impas,” Genta kembali mendapati dirinya menatap Shinta dengan lekat.

“ow ow ow. Loves is in the air! I knew it!” Kinanti menikmati situasi canggung diantara keduanya dan nggak tahan buat nggak komentar.

Genta dan Shinta langsung makin canggung dibuatnya. Genta berdiri dari kursi dental unit, palanya terbentur lampu dental unit dan Shinta berusaha menulis sesuatu di dental record milik Genta, dan yang ia tulis malah, Nasi Uduk Kebon Kacang. Aish! Genta ini resmi jadi pengalih perhatiannya.

#####################################################



“Assalamualikum,” Shinta mengetuk pintu rumah keluarga Soeryaatmadja. Shinta memegang mangkuk berisi bubur manado buatan ibunya yang masih mengepul saking panasnya.

Shinta yang memang tinggal tidak jauh dari rumah keluarga Soeryaatmadaja, Shinta dan Ibu Tina-mama Shinta bertetangga dengan keluarga ini sejak 3 tahun yang lalu. Sebulan setelah Genta meninggalkan Jakarta. Hubungan bertetangga mereka terjalin dengan baik. Ibu Rachmawati dan Ibu Tina mempunyai hobby yang sama, berkebun. Ditambah lagi dengan profesi yang sama yang dimiliki Shinta dan Kinanti membuat kedua keluarga ini begitu dekat.

“Ta, Genta!Itu tolong dibukakan. Ada tamu diluar!”Ibu Rachmawati yang sedang repot memasak sarapan buat keluarganya meminta Genta untuk membukakan pintu.

Genta yang baru saja menyelesaikan olahraga paginya, cardio di atas treadmill langsung melepas sepatunya dan berlari ke depan rumah, “Ya waalaikumsalam!” Genta membuka pintu dan terkejut menmdapati Shinta didepan pintu rumahnya. Sekilas Genta juga mendapati pipi Shinta bersemu merah dan sama terkejutnya seperti dia.

“Oh hei, ada apa pag..” belum sempat Genta menyelesaikan kalimatnya, “AAAAAAAAAA!!!” Shinta berteriak dan membalikkan badannya menjauhi Genta.

Ibu Genta yang kaget mendengar teriakan itu langsung menyusul ke depan rumah. “Genta ada apa sih?Kok ada yang teriak pagi-pagi?”

Genta yang sama herannya dengan ibunya tidak bisa bilang apa-apa dan hanya mengangkat kedua bahunya lalu menunjuk ke arah Shinta yang masih membelakanginya.

“Ya ampun, Shinta ada apa?Genta macem-macem ya?”Ibu Genta menghampiri Shinta yang masih memegang mangkuk bubur. Genta yang tidak terima langsung menunjukkan muka kaget dan nggak percaya. What? Ibu ni ada-ada aja pikirannya!

“Hmm, Nggak ko tante. Genta nggak macem-macem. Tapi Genta boleh disuruh pake kaos atau apalah buat nutupin badannya nggak tan?” Walaupun Genta nggak ngeliat tapi dia berani taruhan wajah Shinta sekarang semerah udang rebus!

“HAHAHAHAHA!” Genta terbahak mendengar alasan yang diutarakan Shinta. Ibunya langsung memotong tawa Genta, “Hush! Kok kamu malah ketawa?itu kaosnya bukan dipake, malah disampiri ke pundak gitu lho.”

Genta masih sedikit tertawa lalu mengenakan kaos putih yang tak sempat ia pakai karena tamunya yang satu ini tadi berteriak tak sabaran.

“Ok, i’m dreesed up now!” Genta masih tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya ketika Shinta berbalik badan lagi menghadapnya.

“hmm. Maaf ya tante pagi-pagi udah bikin ribut. Cuma mau ngasih ini,”Shinta menyerahkan mangkuk yang berisi bubur manado tadi tanpa sedikitpun memandang Genta. Shinta masih bisa merasakan pipi sampai kepalanya panas saking malunya! Udang rebus pasti kalah sama merahnya muka Shinta sekarang! Huh! Kenapa gw jadi yang malu si? Mestinya kan dia! Silly me!

“Wah, makasi ya sayang! Om pasti suka banget ini,” Ibu Genta menerima mangkok yang diberikan Shinta lalu menyikut dan memelototi putra pertamanya yang masih senyum-senyum sendiri.

“Oia, mau kemana kamu? Ko udah rapih pagi-pagi gini?” Genta yang sejak tadi tidak memperhatikan apa yang dikenakan Shinta saking sibuk tertawa baru menyadarinya juga.

Shinta mengenakan loose top berwarna hijau tua dengan jeans. Rambut panjangnya diurai rapih di kedua bahunya. Jepit kupu-kupu kecil tersemat menjepit beberapa helai poninya dan ia membiarkan yang lainnya jatuh menutupi dahinya. Riasan halus juga menutupi wajahnya. Tidak pernah berlebihan dan selalu membuat Genta menatapinya dengan lekat seperti yang ia lakukan “lagi” sekarang.

“Iya tante, mau nganter mama ke bandara. Papa manggil dari Surabaya kemarin malam,” Genta menangkap raut muka seseorang yang amat sangat terluka di wajah Shinta tetapi Shinta langsung dapat mengendalikannya.

Genta memang belum pernah bertanya lebih jauh kepada ibunya mengenai ini. Tapi apapun itu Genta ingin sekali menghapus kesedihan mendalam yang batu saja terlihat di wajah Shinta. “Oh, yaudah salam buat mama ya. Mudah-mudahan semuanya lancar.” Sebaliknya, Ibu Genta nampaknya sangat mengerti.

“Aku pamit ya tan. Salam buat Kinanti, Ale sama Om Daniel,” Shinta sekilas melihat ke wajah Genta. Lagi-lagi didapatinya Genta sedang menatapnya dengan tajam dan dengan rasa simpati yang terpancar dari wajahnya. Apa mungkin ia menangkap rasa sedih gw tadi? Ah, sudahlah. Genta ga ada urusannya dengan ini semua.

##########################################

 
Tok tok tok!

Shinta berlari ke depan membukakan pintu, “Ya ya ya! Sebentar!” Shinta mendapati Genta berada di depan rumahnya.

Sehabis mengantar ibunya tadi Shinta tidak mengharapkan kedatangan tamu terutama dengan pakaiannya sekarang, celana kodok favoritnya berbahan jeans yang dijahitkan ibu khusus buat Shinta dan kaos putih milik ayahnya. Hanya dengan pakaian ini ia merasa kedua orang tuanya utuh bersamanya saat ini.

Shinta kikuk setengah mati. Dengan ice cream baskin&robin semangkuk penuh di tangannya Shinta hanya bisa diam melihat Genta.

Genta hendak tertawa melihat mimik Shinta, Shinta selalu bisa membuatnya tertawa. Tapi buru-buru ia menetralkan nada suaranya “Hai, hmm ice cream huh?”

“Hah?Oh, Genta mau?” Shinta dengan polosnya menyodorkan mangkuk eskrimnya. Genta yang tak tahan ingin tertawa akhirnya tertawa juga. Shinta seperti anak kecil yang dengan baiknya ingin berbagi es krim kepada temannya.

“Hahaha! Nggak kok. Genta mau ngajakin Shinta makan siang.”

“ Hmm, sebenernya ibu yang ngajak.” Genta bingung sendiri apa yang diucapkannya. Ia kikuk sendiri.

“Hm..” Shinta diam. Terlalu lama.

“Hmm. I assume you haven’t lunch.” Genta mencoba memecah keheningan dengan menunjuk lagi ke mangkuk es krim yang Shinta pegang sambil tersenyum ke arah Shinta.

Oh, please don’t that smile Mr. Jude Law! Batin Shinta dalam hati. Sebenarnya Shinta sudah sering diajak makan siang bersama keluarga besar Soeryaatmadja, tapi sekarang bersama Genta? Shinta malu akan terjadi sesuatu yang akan membuat wajahnya semerah tadi pagi!

“Oh iya, aku lupa ditambahin ibu insist! Mengingat kamu sendirian di rumah,” sebenarnya itu hanya alasan Genta agar Shinta ikut bersamanya. Ia tidak akan tenang melihat Shinta sendiri di rumah terutama setelah Genta melihat ada kesedihan di wajah Shinta. Genta berharap Shinta dapat melupakan masalahnya apabila berkumpul bersama yang lain.

“Ok ok!Aku ikut. Berangkat sekarang?” Shinta akhirnya bersuara setelah sekian lama diam

“Yap sekarang. Aku tunggu. Perlu ganti baju mungkin sama ngelepas pore pack-nya?” Genta tersenyum lebar sambil menyentuh hidung Shinta

OH SHIT! Shinta berbalik dan menyentuh hidungnya dan benar saja ia lupa melepas pore pack-nya! Jadi dari tadi Genta ngobrol sama Shinta dengan keadaan seperti ini. Shinta berfikir untuk mengubur dirinya hidup-hidup hari ini! 2 things in a row! Mudah-mudahan ga ada lagi, batin Shinta.

“Ok. I’m ready now,” Shinta keluar lagi setelah 15 menit Genta menunggu.

“Waw, sengaja ngompakin ya?”Genta tersenyum jahil menggoda Shinta yang memang tidak sengaja memakai waran yang sama, merah bata.

“Serius beneran nggak lho Ta!” Shinta yang tidak biasa digoda lelaki apalagi lelaki setampan Genta langsung memerah lagi mukanya, “Aku ke dalam lagi deh. Bentar ya,”

Genta langsung menarik tangan Shinta “Hahaha! Nggak papa kok Shin, nggak ada yang ngelarang kan kita bajunya sama warna, lagian kamu cantik kok pake warna ini,” Genta tersenyum tulus melihat mimik muka Shinta yang semakin memerah.

“Shall we?” Genta mempersilahkan Shinta berjalan terlebih dahulu didepannya.

Genta memperhatikan Shinta dari jauh. Banyak hal menarik dari wanita yang satu ini pikir Genta. Sesaat Genta yakin kalau Shinta tertarik padanya tapi sebagian dari dirinya tidak. Yang jelas Genta sudah memilih, memilih untuk mengenal Shinta lebih jauh dan melihat apa yang akan terjadi nanti.

Shinta berjalan dalam diam disamping Genta. Shinta mengingat bagaimana dengan mudahnya Genta membuatnya tersipu. Shinta memang sesosok yang pemalu, tapi ia selalu berhasil mengendalikan emosi apa yang keluar dari dirinya, tidak dengan Genta pikir Shinta.

“Aih aih, Mba Shinta ga dipaksa Bang Genta buat make baju warna merah bata kan?”Kinanti langsung komentar menyambut kedatangan mereka berdua.

“Hush! Mulutmu itu nak, dijaga napa?”Genta yang tak enak hati sama Shinta langsung menoyor adik perempuannya itu.

Shinta kaget sekali melihat Om Daniel dan Tante Rachmawati kompakan memakai warna biru dongker, Ale dan Kinanti memakai warna merah bata sama seperti dirinya dan Genta. “Nggak kok, nggak sengaja Ki. Tadi aku udah mau ganti,” Shinta memasang muka manyun ke arah Genta, Genta hanya tertawa sekenanya.

“Nggak papa ko Shin, kan kamu udah tante anggap seperti keluarga tante sendiri,” Ibu Rachmawati memeluk Shinta dengan gaya keibuannya.

“Iyalah, ayo donk Bang Genta buruan itu, biar Mama cepet nimang cucu,” Ale yang sama usilnya dengan Kinanti tak mau melepaskan kesempatan emas menyindir kakaknya. Shinta kikuk sekali dan langsung menyikut Genta yang nampaknya sama bingungnya dengan Shinta harus berkata apa.


1 komentar:

ratih suryandari mengatakan...

ayo lanjutkan ul!!! seru deh ni kayanya!
genta itu lo versi cowok kan? susah bangun dan tinggal di kelapa gading!
oia ralat, soeriaatmadja yg bnr hehehe